LKI Channel - PURWAKARTA
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Satria Pangkal Perjuangan Koordinator Wilayah (Korwil) Purwakarta Yadi Permana, S.H., pihaknya menegaskan mengenai penegakan supremasi hukum atas putusan pengadilan pajak terhadap gugatan Bumi Resources.
"Negara kita sedang tidak baik-baik saja. Salah satunya terlihat dari kenaikan pajak yang dibebankan kepada konsumen, yakni setiap kali konsumen membeli barang," kata Yadi melalui rilisnya, Rabu (9/10).
Padahal, sambungnya, apabila Kementerian Keuangan tegas dalam menegakan supremasi hukum, maka dapat melakukan sita eksekusi aset-aset para pelaku usaha nakal, di antaranya melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset Bakrie Group.
"Seperti diketahui, Bakrie Group memiliki 10 anak perusahaan yang telah merugikan negara dan merugikan konsumen. Di antaranya, PT Bakrie Telecom.Tbk atau BTEL, yang bergerak di bidang Teknologi Telekomunikasi Informasi," ujar Yadi.
Ada pula, kata Yadi, PT Bakrie Pangripta Loka yang membangun Apartemen Sentra Timur Residence di Pulo Gebang serta PT Asuransi Jiwa Bakrie yang telah dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan pada 2016 lalu.
Pencabutan izin tersebut melalui Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-76/D.05/2016 tanggal 15 September 2016, dan belum menyelesaikan pembayarannya kepada konsumen sebesar Rp500 miliar.
"Pada 2016, BTEL telah berutang sebesar Rp10 triliun. Di antaranya utang kepada negara sebesar Rp1,2 triliun berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni pungutan yang seharusnya dibayarkan BTEL kepada Kominfo serta pembayaran pesangon karyawan yang belum terselesaikan," ucap Yadi.
Kementerian Keuangan juga, lanjut dia, bisa saja melakukan sita eksekusi terhadap perusahaan yang melakukan tunggakan pajak seperti anak Perusahaan Bakrie Group. Yakni, PT Kaltim Prima Coal sebesar Rp1,5 triliun, PT Bumi Resources Rp376 miliar, dan PT Arutmin sebesar US$ 27,5 juta.
"Sebagaimana fakta hukum persidangan yang disampaikan oleh terpidana Gayus Tambunan pada 28 September 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Direktorat Jenderal Pajak menemukan kekurangan bayar pajak tiga perusahaan Grup Bakrie pada 2007 sebesar Rp2,1 triliun," kata Yadi.
Tak Adil Tangani Perkara Pajak
Dijelaskannya, selama ini pemerintah tidak adil menangani perkara pajak. Contohnya, kata dia, perkara Kaltim Prima Coal yang menang hingga tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
"Akan tetapi, tiba-tiba pemerintah mengajukan peninjauan untuk kedua kali, padahal peninjauan kembali hanya dapat dilakukan sekali saja. Oleh karena itu, kami LPKSM Satria meminta kepada pemerintah untuk tidak menggunakan kekuatan politik dalam menjerat wajib pajak," ujar Yadi.
Dikarenakan ini masalah penegakan supremasi hukum, lanjutnya, dengan adanya putusan pengadilan pajak terhadap gugatan Bumi Resources, maka perkara tersebut seharusnya bisa dilakukan penyidikannya.
Belum lagi tentang perkara lumpur Lapindo yang utangnya belum diselesaikan kepada negara oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp2,23 triliun sebagaimana laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 (Audited) yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Utang kepada negara tersebut terjadi pada 22 Maret 2007. Pemerintah memberikan dana talang untuk ganti rugi bencana alam Lumpur Lapindo melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Warga Korban Luapan Lumpur Sidoarjo," ucapnya.
Tak sampai di situ, kata Yadi, PT. Bakrie Pangripta Loka yang telah menawarkan dan menjual produk berupa Apartemen Sentra Timur Residence di Pulo Gebang yang kondisinya masih bermasalah, sehingga merugikan konsumen yang telah membayar uang muka dan angsuran.
"Atas perbuatan pelaku usaha tersebut Pengurus Besar LPKSM Satria Pangkal Perjuangan telah mengajukan gugatan legal standing ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana Register Perkara nomor 981/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL.," kata Yadi.
Kemudian, lanjutnya, tentang kerugian negaranya adalah tanah tempat berdirinya Apartemen Sentra Timur Residence adalah milik Negara (PT. Perum Perumnas) yang dirugikan oleh PT. Bakrie Pangripta Loka sebesar Rp83 miliar berdasarkan audit laporan keuangan Perum Perumnas.
"Presiden melalui Kementerian Keuangan harus menegaskan komitmennya untuk tidak memberi toleransi terhadap pengemplang pajak. Tanpa dukungan Presiden, kami khawatir penyidik pajak tertekan secara psikologis," ujarnya.
Sebaliknya, penyidik pajak bisa bertindak obyektif jika ada dukungan politik. Oleh karena itu, pihaknya menuntut agar pemerintahan yang baru segera melakukan sita eksekusi terhadap aset-aset milik Bakrie Group.
"Serta, mengembalikan kerugian negara yang manfaatnya untuk kepentingan konsumen dan rakyat Indonesia serta kepada Otoritas Jasa Keuangan agar tidak mengeluarkan izin usaha bagi PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) yang telah merugikan konsumen," ucap Yadi.
( yana )